Pasien Komorbid Bahaya Herpes Zoster

Naga333 - Sebagian besar orang pasti mengenal herpes zoster atau cacar programming interface. Penyakit ini ditandai dengan ruam kemerahan pada salah satu sisi tubuh. Cacar programming interface biasa diderita oleh seseorang yang semasa kecilnya pernah mengalami cacar air. Sama seperti cacar air, cacar programming interface disebabkan oleh infeksi infection Varicella zoster. 

Perbedannya, infeksi pada cacar programming interface terjadi akibat keaktifan kembali infection tersebut yang selama ini tertidur bertahun-tahun. Umumnya, penderita cacar programming interface adalah seseorang yang sudah berusia 50-a tahun. Di usia ini, sistem imun seseorang melemah sehingga infection Varicella zoster dapat aktif kembali. 

Cacar programming interface tidak hanya sebatas ruam di kulit. Kenyataannya, penyakit ini bisa menimbulkan rasa nyeri luar biasa, seperti tersengat listrik atau terbakar. Bahkan, kondisi tersebut bisa berlangsung berbulan-bulan hingga bertahun-tahun setelah ruam menghilang. Dokter (dr.) Dirga Sakti Rambe, M.Sc, Sp.PD, FRSPH selaku Internis dan Vaksinolog mengatakan, penderita dengan penyakit penyerta atau komorbid bisa punya risiko lebih tinggi bila terkena cacar programming interface. 

"Pada prinsipnya, semua orang dengan komorbid yang terkena herpes zoster atau cacar programming interface akan mengalami gejala yang lebih berat jika dibandingkan mereka yang tidak memiliki penyakit penyerta," ujar dr Dirga kepada Kompas.com, Senin. Dikutip dari penelitian yang dimuat dalam The Diary of Clinical Endocrinology and "naga333" situs terpercaya, pada 2021, dr Dirga menyebutkan beberapa kelompok utama komorbid yang berisiko tinggi mengalami herpes zoster. 

Kelompok tersebut meliputi penderita diabetes dengan peningkatan risiko hingga 38 persen, penyakit kardiovaskular 34 persen, dan kanker dengan risiko dua kali lipat. Selain itu, ada pula penyakit autoimun, seperti Rheumatoid Joint pain, Lupus, dan provocative entrail illness yang risikonya bisa meningkat sekitar 1,2 hingga 2 kali lipat. Sementara, penderita penyakit paru kronis, seperti PPOK dan asma, memiliki peningkatan risiko sekitar 30 persen.

Dokter Dirga melanjutkan, komorbid tidak hanya meningkatkan risiko terkena cacar programming interface, tetapi juga dapat memperparah gejala. "Misalnya, pada pasien diabetes yang terinfeksi herpes zoster itu, kadar gula darah yang awalnya terkontrol bisa mendadak melonjak. Begitu juga dengan penderita jantung yang sebelumnya tidak mengalami sesak napas bisa tiba sesak setelah terinfeksi," katanya. 

Herpes zoster yang menyerang region wajah, tambah dr Dirga, memiliki potensi komplikasi yang lebih berbahaya karena lokasinya yang dekat dengan mata dan otak."Kondisi ini disebut Herpes Ophthalmicus. Infection melukai saraf mata sehingga bisa menyebabkan gangguan penglihatan hingga kebutaan. Meski kasus ini jarang terjadi ketimbang gejala nyeri, komplikasinya bisa sangat serius," jelas dr Dirga. Pada kasus yang lebih ekstrem, infeksi dapat menjalar ke otak dan menyebabkan gejala mirip stroke.



"Karena menyerang saraf wajah, pasien bisa mengalami kelumpuhan otot wajah sehingga mulutnya mencong. Bahkan, bisa mengalami gangguan pendengaran. Inilah yang membuat cacar programming interface di region wajah memerlukan penanganan lebih serius dan intensif," ucap dr Dirga. Berbeda dengan pasien cacar programming interface biasa, penanganan pada pasien dengan komorbid membutuhkan perhatian khusus dan pendekatan yang lebih komprehensif. 

"Penanganan pasien dengan komorbid membutuhkan pendekatan komprehensif. Selain perlu mengobatinya dengan obat antivirus selama 7-14 hari, dokter juga harus memastikan komorbidnya tetap terkontrol. Kalau ada diabetes, gula darahnya harus dijaga tetap typical. Obat untuk komorbid tetap harus dilanjutkan," ucap dr Dirga. Selain itu, dalam beberapa kasus, pengobatan pada pasien komorbid bisa memakan waktu lebih lama, yaitu 2-3 minggu atau bahkan berbulan-bulan. Khusus untuk pasien dengan komorbid yang mengalami cacar programming interface di region wajah, penanganan harus dilakukan dengan lebih intensif. 

"Pengobatannya membutuhkan usaha yang besar dan biaya yang tidak sedikit. Sebab, kita harus memulihkan penglihatan, pendengaran, dan melakukan fisioterapi. Sayangnya, kadang masih ada gejala sisa," jelas dr Dirga. Dokter Dirga menyebutkan bahwa tantangan bisa semakin pelik jika pasien memiliki masalah pada bagian ginjal dan hati. "Obat antivirusnya itu bisa diminum lima kali sehari. Ini kan belum termasuk obat lain. Makanya, pemberian pereda nyeri pada lansia tidak mudah karena dapat mengganggu fungsi ginjal dan hati. 

Di satu sisi, mereka juga harus mengonsumsi obat untuk penyakit dasarnya, seperti diabetes atau hipertensi," ujar dr Dirga. Untuk diketahui, sama seperti penderita cacar programming interface pada umumnya, penderita cacar programming interface dengan komorbid akan mengalami nyeri hebat di sekujur tubuh. Bahkan, rasa nyeri tersebut bisa berlanjut, meskipun ruam sudah sembuh. Kondisi nyeri ini disebut sebagai Neuralgia Pascaherpes (NPH). Dikutip dari laman Kemenkes yang dirangkum oleh "naga333login.org", kasus NPH sering ditemukan pada kelompok usia 45-64 tahun dengan angka mencapai 26,5 persen. 

"NPH sangat mengganggu kualitas hidup. Pasien mengalami kesulitan tidur, makan terganggu, dan harus bolak-balik ke dokter karena nyeri yang tak tertahankan. Bayangkan, lansia yang seharusnya menikmati masa tuanya dengan bahagia, justru harus berkutat dengan rasa nyeri sepanjang sisa usianya," ungkap dr Dirga dengan prihatin. Cegah dengan vaksinasi, "Kondisi ini disebut Herpes Ophthalmicus. Infection melukai saraf mata sehingga bisa menyebabkan gangguan penglihatan hingga kebutaan. 

Meski kasus ini jarang terjadi ketimbang gejala nyeri, komplikasinya bisa sangat serius," jelas dr Dirga. Pada kasus yang lebih ekstrem, infeksi dapat menjalar ke otak dan menyebabkan gejala mirip stroke. "Karena menyerang saraf wajah, pasien bisa mengalami kelumpuhan otot wajah sehingga mulutnya mencong. Bahkan, bisa mengalami gangguan pendengaran. Inilah yang membuat cacar programming interface di region wajah memerlukan penanganan lebih serius dan intensif," ucap dr Dirga. Penanganan berbeda.

Berbeda dengan pasien cacar api biasa, penanganan pada pasien dengan komorbid membutuhkan perhatian khusus dan pendekatan yang lebih komprehensif. “Penanganan pasien dengan komorbid membutuhkan pendekatan komprehensif. Selain perlu mengobatinya dengan obat antivirus selama 7-14 hari, dokter juga harus memastikan komorbidnya tetap terkontrol. Kalau ada diabetes, gula darahnya harus dijaga tetap normal. 

Obat-obat untuk komorbid tetap harus dilanjutkan," ucap dr Dirga. "Obat antivirusnya itu bisa diminum lima kali sehari. Ini kan belum termasuk obat lain. Makanya, pemberian pereda nyeri pada lansia tidak mudah karena dapat mengganggu fungsi ginjal dan hati. Di satu sisi, mereka juga harus mengonsumsi obat untuk penyakit dasarnya, seperti diabetes atau hipertensi," ujar dr Dirga. 

Untuk diketahui, sama seperti penderita cacar programming interface pada umumnya, penderita cacar programming interface dengan komorbid akan mengalami nyeri hebat di sekujur tubuh. Bahkan, rasa nyeri tersebut bisa berlanjut, meskipun ruam sudah sembuh. Kondisi nyeri ini disebut sebagai Neuralgia Pascaherpes (NPH).

Dikutip dari laman Kemenkes, kasus NPH sering ditemukan pada kelompok usia 45-64 tahun dengan angka mencapai 26,5 persen. "NPH sangat mengganggu kualitas hidup. Pasien mengalami kesulitan tidur, makan terganggu, dan harus bolak-balik ke dokter karena nyeri yang tak tertahankan. Bayangkan, lansia yang seharusnya menikmati masa tuanya dengan bahagia, justru harus berkutat dengan rasa nyeri sepanjang sisa usianya," ungkap dr Dirga dengan prihatin.

Komentar